Keikhlasan layaknya akar yang kokoh (kisah marbot masjid)

“… Dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya…”

(Q.S. al-A’raf: 29).

—————————————————————


Sebuah perbuatan akan bercahaya bila berbahan bakar keikhlasan.

SEORANG kawan senang betul salat sunnah kalau ia berada di kota lain. Memang, Rasulullah mengatakan bahwa jika kita bepergian jauh, begitu sampai di tempat tujuan segera menegakkan shalat sunnah dua rakaat. Itu merupakan tanda syukur kita sudah sampai dengan selamat. Suatu hari dia pergi ke satu tempat. Sebagaimana biasa, ia mencari masjid atau mushala. Layaknya orang yang mau shalat, kawan ini mencari toilet dan tempat wudhu. Tapi, langkah dia tiba-tiba terhenti saat melihat seseorang yang sepertinya dikenali.

Sebut saja bernama Fulan, kawan SMP yang sangat pintar. Untuk sementara dia tertegun. “Tidak salahkah penglihatanku?” tanyanya pada diri sendiri. Fulan yang tengah membersihkan toilet dan tempat wudhu itu diamati beberapa saat. Pria itu berbaju khas merbot masjid; kaosan, celana buntung, dengan peci haji yang didongakkan ke belakang kepala. Fulan tengah mengepel.

“Assalamualaikum…,” sapa dia dengan hati-hati, khawatir salah mengenali seseorang. Ternyata penglihatannya tidak salah. Yang di depan mata benar-benar Fulan, kawan dia. Fulan juga mengenali diri dia, dan menanyakan urusan datang ke kota ini. Masih di koridor tempat wudhu masjid tersebut,

kawan ini melanjutkan pertanyaan, “Kenapa Fulan hanya jadi merbot masjid? Dan, kenapa mau?”

Yang ditanya tersenyum. “Memangnya ada yang salah dengan kerjaan ini? Kan, bagus. Dengan saya menjadi merbot, masjid ini jadi bersih. Kalau bersih, kan yang shalat jadi senang. Betah. Akhirnya saya pun dapat pahalanya,” ujar Fulan.

“Tapi, penghasilannya kan tidak sepadan. Lagian Fulan kan dulu pintar. Cerdas. Sangat cerdas malah. Selalu ranking. Kok, kayaknya gimana, gitu….?”

Fulan kembali tersenyum, dengan tangan kiri tetap mengelap sisi pinggir tempat wudhu.

“Gimana kalau Fulan ikutan sama saya?”

“Maksudnya?”

“Ya, kerja sama saya. Fulan bisa saya gaji lebih besar dari penghasilan sebagai merbot ini. Ngomong-ngomong jadi merbot digaji nggak?”

“Nggak.”

“Wuah, apalagi nggak. Sudah kerja sama saya saja. Pendidikan terakhir?”

“Sarjana elektro,” katanya.

“Waduh, tambah nggak pantaslah. Masak sarjana elektro jadi merbot. Yang beginian mah, maaf, nggak perlu tamatan elektro. Cukup tamat SD saja. Maaf ya, Mas. Cuma rasanya, gimana gitu saya melihatnya….”

“Ya, sudah,” jawab Fulan, “Salat saja dulu. Nanti kita ngobrol lagi. Sambil ngopi, biar saya buatkan sekalian.”

Kawan ini pun mengambil air wudhu, sambil tetap mikirin Fulan. Kala dia mau mengambil posisi shalat, seorang anak muda yang tampaknya juga merbot masjid bertanya :

“Pak Haji, Bapak kenal Pak Haji Fulan, ya?”

“Iya. Dia kawan saya waktu di SMP, dulu….”

“Pak Haji, Pak Haji Fulan itu yang bangun ini masjid. Dia orang kaya di sini….” kata anak muda tersebut dengan datar.

“Orangnya baik, Pak. Rendah hati. Sederhana. Padahal amalnya buanyak….”

Tidak berhenti di sini, si anak muda itu pun bercerita bahwa Haji Fulan adalah pengusaha alat-alat listrik dan toko bangunan yang maju. Dia pengusaha daerah yang sangat cinta masjid. Dia mengaku dapat semua keberkahan ini karena sangat menjaga shalat berjamaah dan mencintai masjid. Makanya, kala sukses, dia membangun masjid kecil ini. Begitulah cita-cita dia.

Bahkan dia berangan-angan untuk berkhidmat pada hamba-hamba Allah yang shalat di masjidnya. Pelanggan-pelanggannya pun tahu kalau mau mencari Haji Fulan, temui saja di masjid dia. Masya Allah. Hati kawan ini tiba-tiba saja merasa malu.

Ia telah merendahkan “jabatan” merbot masjid. Apalagi, ternyata Fulan inilah yang berada di balik pembangunan masjid tersebut.

Dia berpikir, andai “merbot” tersebut adalah diri dia, dan orang menyangkanya sebagai pembersih masjid, pasti bakal diluruskan, “Maaf, saya lho yang membangun masjid ini. Saya mah kebetulan saja senang membersihkan masjid.”

Masya Allah, Fulan adalah sosok lain. Dia justru menyembunyikan amalnya. Ikhlas nian. Kawan ini beristigfar. Tanpa perlu gembar-gembor, Allah sudah membanggakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Allah yang bangga terhadapnya, dan membuat anak muda tadi berbicara tentang siapa sebenarnya Fulan. Keikhlasannya membuat Fulan bercahaya. Bahkan makin bercahaya.

======================

“keikhlasan bagai AKAR yang gigih menembus tanah yang keras, mencari air dan menopang batang pohon diatasnya. Ketika pohon tumbuh, berdaun rimbun, berbunga indah, segar, semerbak ranum, menampilkan eloknya pada dunia dan mendapatkan pujian, AKAR tetap tidak iri, ia tetap bersembunyi dalam tanah. Itulah makna dari sebuah ketulusan dan KEIKHLASAN hamba yang memiliki perpaduan tekun, sabar , tulus, dan ikhlas bagaikan AKAR. Merekalah pejuangnya para pejuang, yang takkan surut langkahnya oleh beratnya masalah dan cobaan. Merekalah ksatria nya para ksatria yan takkan padam semangatnya hanya karena kurangnya perhatian dan penghargaan manusia. bagi mereka ALLAH adalah segala-galanya. Wakafa billahi Shahiida..”

======================

Wallahualam

sumber = http://www.facebook.com/notes/yulia-ningsih/sinc%C3%A9rit%C3%A9/170808069644630

2 thoughts on “Keikhlasan layaknya akar yang kokoh (kisah marbot masjid)

  1. saya adalah seorang marbot yg merasakan betapa indahnya keikhlasan jika dibarengi sama kesabaran. Dan banyak sudah kemulian yang Alloh Ta’ala berikan kepada saya karena ikhlas dan sabar. “APABILA SESEORANG BERORIENTASI PADA AKHIRAT INSYA ALLOH DUNIA AKAN DAPAT = APABILA KITA MENANAM PADI MAKA RUMPUT AKAN IKUT TP TAKKAN PERNAH TANAM RUMPUT LALU TANAMAN PADI IKUT”

Leave a comment